Marahi Mensos, Bupati Alor Didepak PDIP

145

BIDIKNEWS.id, Alor – Dampak siklon tropis seroja yang menimpa Alor dan beberapa Kabupaten kota di NTT, selain menyisahkan puing-puing juga berdampak politis pada kedudukan Bupati dan Wakil Bupati Alor, Drs. Amon Djobo dan Imran Duru, S. Pd atas ditariknya kendaraan politik moncong putih yang melekat pada entitas politik Amon.

Pro dan kontra Masyarakat tak terelakkan, yang pro menghibur Bupati, lantas membenarkan sikap yang dianggapnya heroik;
“Bapak jangan Takut. Biarkan PDIP Memecat Bapak. Sebab, Bapak Bukan Bupati PDIP. Bapak adalah Bupati Masyarakat Alor. Bapak Adalah Bupatinya Rakyat bumi Seribu Moko.”

Itulah untaian support yang disampaikan. Bukan tidak dengan alasan?, bahkan menurut pendukungnya itu sifat Heroik, karena mengabaikan sikap politik ketimbang kemasalahatan rakyat. Jika berbicara soal cerminan etika pejabat publik, masih tetap juga bagi pendukung Amon dibenarkan.

Advertise

Berbicara standar etika di Republik ini, apa yang menjadi ukuran cerminan Wibawa seorang Pejabat publik?. Bagi mereka yang pro Amon, etiskah seorang pejabat menyalahgunakan Wewenang yang telah diatur di dalam UU sebagaimana bahasan soal tupoksi DPRD (Legislatif). Berwibawakah seorang pejabat publik, jika terbukti mengangkangi Amanat UU MD3?.

Amanat UU MD3 memerintahkan bahwa yang berwenang dan berhak membagikan bansos adalah eksekutif atau pemerintah daerah, melalui satgas penanganan bencana Seroja, yang dikoordinir oleh BPBD. Lagi-lagi Ini soal harga diri sebagai seorang kepala daerah yang dilucuti, tepat di depan matanya. Lalu, hal itu dinilai tidak memenuhi kualifikasi etika komunikasi?.

Disisi lain, Risma sudah sering bekerja Out Of The Box. Dulu, dia pernah berjanji membuat program rumah gratis di Jakarta. Padahal, Kemensos tidak punya program Rumah Gratis. Cuman Mensos RI yang pernah panjat tembok di kawasan kumuh Jakarta, mencari Tuna wisma. Cuman Mensos yang kerap bekerja out Of the box.

Kita dikagetkan KPK mensinyalir, ada 16,7 juta penerima Bansos tanpa NIK. Media merangkumnya menjadi Bansos fiktif. Melayang kemana bansos-Bansos itu?. Kalau di hitung-hitung, ada sekitar Rp.5,010 triliun yang melayang percuma dan blusukan kemana-mana tanpa ujung pangkal. Tak tepat sasaran.

Siapa yang tahu, kalau Bansos fiktif itu, ternyata melayang-layang percuma ke Pilkada 2020. Ini cuman asas praduga. Pun Kalau benar adanya, nasi sudah jadi bubur. Asal kita tau saja, Korupsi Bansos itu sudah mendekati Rp 10 triliun. Lalu, kini ada bansos fiktif yang nilainya Rp.5 triliunan. Mau dbilang ajaib, tapi nyata.

Jadi standar moralitas kita sekarang adalah Tidak masalah korupsi?. asal berwibawa?. Tidak jadi soal menyalahi wewenang, asal Beretika?…

Di sinilah Missednya ; Kenapa ketua DPRD menerima bansos bencana tidak melapor ke bupati?. Siapa yang tanda tangan berita acara bansos tersebut?. Ketua DPRD?. Harusnya ini urusan pemkab Alor?. Mengapa petugas kemensos sebelum dilabrak bupati tidak melapor bahwa yang diterima ketua DPRD itu bansos bencana seroja, bukan PKH. Kenapa diam?.

Diksi Ja*n*ok di Jawa sudah tidak lagi di terjemahkan sebagai Makian, bahkan Sujiwo Tejo menjadikannya sebagai frasa nyanyian yang biasa-biasa saja.

Sama seperti, beberapa diksi yang di anggap makian di Sulawesi, sudah di anggap biasa. Bahkan, dipakai sebagai sapaan akrab. Dalam struktur Kultural tata bahasa di sulawesi, semarah apapun Orang Bone, intonasi dan Cara bicaranya tetap sama, tidak ada yang berubah secara signifikan, mirip dengan Orang Sunda di Jabar sana. Siapa yang tidak tau, bagiamana mendayu-dayunya orang Sunda jika bicara.

Tetapi, Coba kita ke arah selatan sulawesi. Saat mereka marah dalam bicara atau bicara biasa. Pasti berbeda, sama dengan karakter bicara orang timur. kalau di jawa, hal itu bisa kita temukan dalam struktur bicaranya orang Madura, pasti berbeda dengan orang Malang. Di Sumatera, kita bisa dengar pada Orang Batak.

Itulah sebanya, kita mesti menghindari memberikan ukuran atau standar etis dan tidak etis pada cara bicara orang. Sebab, kita bisa celaka dalam berpikir, tidak ada variabel baku untuk mengukur cara bicara, gerak tubuh dan simbol-simbol kultural orang. jika kita mengukur etis dan tidak etisnya seseorang, berdasarkan apa yang dia ucapkan. Maka, bagaimana cara mengukur etika komunikasi orang timur dengan paradigma Kultur orang Sunda.

Bagaimana juga cara kita menilai etika komunikasi orang betawi dengan struktur budaya Orang Jogja. Pasti terjadi bias paradigma, jika dipaksakan untuk mengukur entitas kultural yang beragam ini. Etis dan tidak etis itu niscaya diukur secara keseluruhan, ia adalah rangkaian yang menyatu.

Pointnya adalah, memang Ibu Risma dan Ibu Eny Anggrek salah secara prosedural. Kalau asumsi pembelaannya di media, ” tidak ada satupun yang bisa di hubungi saat badai seroja melipir ke Alor”. Lalu, kenapa bisa menghubungi Ketua DPRD Alor. Kenapa bisa menyalurkan Bantuan ke kabupaten lain, yang justru jauh lebih parah dampaknya?.

Bagaimana AJ tidak marah, kalau Penyalurannya bansosnya salah kamar. Sebab, implikasi Bansos yang salah kamar, bisa diduga digunakan untuk mendongkrak populisme dan elektabilitas parpol. Kesalahan mengelola negara seperti ini, yang membikin negara ini rusak.

Namun satu hal, sekalipun pilihan diksi tersebut terdengar biasa-biasa saja bagi telinga timur. Tetapi, Bapak sedang berbicara dengan lawan bicara yang struktur kulturalnya tidak bisa mendengar intonasi keras.

Tulisan ini disadur dari Coretan Nalar Pinggiran. Oleh : Rais Syukur Timung