Opini  

Krisis Kejujuran dan Ketidakadilan Pendidikan di Indonesia

Oleh : Siti Lailatil Mukarromah

Opini, bidiknews.id – Pendidikan di era sekarang ini, begitu dielu-elukan dari berbagai kalangan masyarakat. Sehingga mereka mengaggap, seseorang yang mampu menyelesaikan pendidikannya hingga sarjana berasal dari kalangan orang kaya. Seakan-akan uang menjelma jadi dewa yang hanya dengan adanya uang, hidup menjadi sejahtera dan jauh dari keterpurukan sosial. Sehingga banyak praktik ketidakjujuran yang menimbulkan ketidak adilan bagi kalangan masyarakat menengah kebawah.

Miris bukan?
Sebagaimana pada pasal 27 ayat 1 UUD’45 yang berbunyi; Setiap warga Negara berhak untuk mendapat pendidikan yang layak.”

Negara begitu menjunjung tinggi pendidikan, akan tetapi masyarakatnya banyak yang menggelandang jauh dari Keterdidikan serta ketidaksadaran terhadap pendidikan. Pendidikan di Indonesia layaknya penindasan yang mengutamakan kalangan atas yang bisa membeli pendidikan sesuka hati, asal ada uang.

Hal tersebut menciptakan strata pendidikan di sekolah dengan sendirinya. Pertama, sekolah elite yang mampu mendidik menjadi siswa teladan. Karena yang berhasil masuk ke sekolah ini ialah mereka yang memiliki nilai ujian memadai. Kedua, sekolah menengah, yaitu sekolah yang dicap sebagai sekolah ‘buangan’ yang tidak berhasil masuk disekolah elite. Sehingga mereka dinilai sebagai siswa ‘nakal’ dan ‘ber-IQ rendah’ hingga tampak dinilai hina.

Pengalaman pahit pernah menimpa saya, saya pernah mendaftar di salah satu sekolah kejuruan favorit dan elite. Saat itu masih memakai sistem penilaian online, apabila nilai kita lebih rendah dari calon siswa yang lain, maka nama kita otomatis tergeser kebawah.

Alhasil saya tidak lolos di kategori ini. Sehingga saya harus mendaftar ke sekolah menengah yang letaknya sangat jauh dari rumah. Ada hal aneh saya temui ketika saya hendak mengambil kembali berkas saya di ruang pendaftaran tersebut. Saya berjumpa dengan salah satu teman saya. Kami mengobrol sejenak perihal hasil.

“Kamu lolos, Dik?,” tanyanya pada saya (dia menyebut saya adik karena saya setahun lebih muda dibawah umurnya)

“Tidak, Mas. Ini mau ambil berkas untuk daftar di pilihan kedua. Mas sendiri?,”

“Tidak lolos juga. Tapi disini ada teman ayah. Jadi masih bisa sekolah disini. Istilahnya pakai ‘orang dalam’, Dik,” katanya yang membuat saya sedikit terkejut.

“Oh seperti itu”

“Iya. Nanti pakai uang komisi juga sih ehehe..”

Padahal Nilai saya lebih tinggi dari nilainya tapi dia bisa masuk sekolah itu dengan begitu mudahnya. Beberapa berita yang saya dengar dari teman-teman saya yang lain, banyak yang masuk sekolah itu dengan nilai yang rendah dan seolah-olah menggeser mereka (calon peserta didik baru) yang memiliki nilai tinggi.

Entah sebegitu kejamnyakah pendidikan di negara ini? sekolah seakan hanya dijadikan sarana untuk memamerkan kekayaan bukan kepandaian. Lalu bagaimana dengan definisi sekolah yang sebenarnya? Yang mana merupakan wahana yang dipergunakan sebagai tempat berlangsungnya proses pemupukan pengetahuan, keterampilan dan sikap guna mewujudkan segenap potensi yang ada dalam diri seseorang (siswa) (Agus Wibowo, 2008: 1).

Krisis pendidikan di zaman modern ini merajelela. Kurangnya kesadaran dan sikap materealistik yang berlebihan, membuat kaum menengah menjadi yang miskin selalu kalah. Meskipun seberapa pandainya otak kita, kadangkala masih bungkam oleh rupiah.

Hal seperti ini sudah tentu bukan hanya saya saja yang mengalaminya, mungkin tidak sedikit orang juga pernah mengalaminya. Akan tetapi memilih diam karena takut permasalahan ini melebar dan semakin rumit. Apalagi ketika itu umur saya masih 15 tahun. Saat itu saya hanya bisa menangis karena terlalu sakit oleh keadaan.

Akan tetapi hal seperti itu tidak pernah menyurutkan semangat saya untuk melanjutkan pendidikan yang sedikit ‘layak’. Meskipun kata ‘layak’ yang tertera pada pasal 27 ayat 1 sudah tidak lagi berlaku bagi mereka yang patah hati karena tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan.

Begitulah Negara kita, pendidikan ibarat perdagangan yang dijual dengan sangat mahal namun dengan isi otak rendahan. Tapi, bersyukurlah, meski kita sekolah di sekolah menengah, karena diluar sana banyak anak-anak terlantar dari pendidikan yang rindu suasana sekolah namun materi tidak punya.

Dear kalian yang telah menyelesaikan pendidikan, jangan lupa berbagi dan peduli pada mereka yang membutuhkan. Satu ilmu yang kalian beri, menjadi kebahagiaan untuk mereka yang tersakiti.

Dear kalian yang putus sekolah karena keadaan yang memaksa untuk terhenti, jangan patah semangat! Tetaplah belajar dan terus berkarya untuk bangsa. Karena Tuhan menciptakan kita dengan kesempurnaan akal. Asahlah hingga tajam! Hingga kalian menjadi manusia bermartabat.

Tulisan ini hanya sebuah opini yang berdasar pada fakta yang terjadi dan penulis alami sendiri. Apabila ada yang tersinggung, itu artinya kalian sedikit sadar dan tidak lupa.

Tulisan ini bukan untuk memecah belah, memprovokasi, mendiskriminasi ataupun mengadu satu sama lainnya. Melainkan hanya unek-unek saya yang terkandung di otak 4 tahun lamanya dan baru terlahir dari jari-jemari saya saat ini.

Semoga mengisnpirasi serta menyadarkan kita bahwa sejatinya sekolah adalah wahana pembelajaran untuk generasi muda yang bermartabat yang luhur dan berdedikasi tinggi. Salam pendidikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *