LAGU MALAM KUDUS “Rintihan Jiwa Seorang Anak Haram”

473

Oleh: Kristian Emanuel Anggur

(Penulis adalah Kontributor Media Bidik News. Tinggal di Borong)

OPINI, BIDIKNEWS.id- “Malam Kudus, sunyi-senyap, bintang-Mu gemerlap…”, dst. Aslinya, berjudul: Stille nacht, atau heilige nacht! Sepanjang sejarah Natal, selama hampir dua ratus tahun lebih, lagu ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Dalam bahasa Inggris, diterjemahkan dengan: Silent night, atau holy night. Orang Indonesia, menerjemahkannya dengan: “Malam Kudus.” Dan orang Manggarai, menyanyikannya dengan: “Wié Nggeluk Bail.” Pasti daerah lain juga sudah punya terjemahannya. Lagu yang amat memukau! Bukan saja menggetarkan jiwa musical para musisi di blantika musik rohani, tetapi juga berhasil membius perasaan religious semua umat kristiani. Lagu sendu yang menjadi lagu kesukaan banyak orang. Tanpa lagu ‘Malam Kudus’, perayaan natal terasa hambar. Tanpa lagu Malam Kudus, natal terasa sepi. Tapi tahukah anda, bagaimana latar belakang kisah cipta, karsa dan rasa di balik keindahan syair lagu ini?

Lagu “Malam Kudus”, diciptakan oleh seorang imam muda, bernama Yoseph Mohr. Ia seorang pastor desa sederhana di Mariapfar, tepatnya, di kawasan perbukitan Alpen Austria, pada tahun 1816. Lagu ini ditulis untuk mengenang kemalangan nasibnya sendiri, sebagai anak haram. Ia lahir di luar nikah resmi gereja Katolik, dari sang ibunda, bernama Anna Schoiber. Ibu Anna Schoiber mengandung anak di luar nikah. Dirinya hamil ketika berkenalan dengan seorang tentara Jerman, bernama Frans Yoseph Mohr. Karena mengandung dan melahirkan anak haram di luar nikah, ibunda-nya, Anna Schoiber, tidak diterima dalam lingkungan pergaulan masyarakat Austria saat itu. Alasannya, karena ia melahirkan anak dari hasil kumpul kebo, yang merupakan perbuatan tercela dan tidak dibenarkan secara moral dan hukum agama.

Menyandang gelar “anak haram”, menodai nama baik keluarga dan gereja. Menurut adat kebiasaan yang berlaku di tempat itu, merupakan sebutan sangat hina dan memalukan. Sehingga kehadiran Yoseph Mohr kecil pun, tidak diterima dan ditolak dari rumah ke rumah dan lingkungan pergaulannya. Bukan hanya itu, Ia juga tidak diizinkan untuk bersekolah dan belajar apapun sekalipun untuk belajar ketrampilan atau sekedar melatih kerajinan tangan. Iapun disisihkan dan ditinggalkan oleh teman-teman sepermainannya. Namun, Tuhan tidak meninggalkannya. Di dalam diri Si bocah kecil, Yoseph Mohr, Tuhan mengaruniainya suara emas. Ia punya bakat bawaan untuk menyanyi dan feeling musik. Suatu ketika, pemimpin koor Katedral Salburg, Johann Nepomuk Hiernle, terpukau mendengar Si Upik Yoseph melantunkan sebuah lagu. Ia pun terharu, meneteskan air mata. Rasa belas kasihan, mendorongnya untuk mengadopsi Mohr menjadi anak-nya. Di mata Hiernle, Si kecil Mohr, dinilai memiliki talenta music tinggi. Tak ragu lagi, setelah diadopsi, Yoseph Mohr disekolahkannya. Mohr kecil diberi pelatihan khusus untuk pelajaran seni music. Di kemudian hari, Mohr terpanggil menjadi seorang biarawan yang ditahbiskan menjadi imam katolik. Hanya beberapa saat setelah tahbisan imamatnya, Frater Mohr pun ditugaskan untuk membantu pastor paroki Mariapfar. Kebetulan kota ini adalah kota asal ayahnya, Frans Yoseph Mohr, yang tidak jadi menikahi ibunya. Paroki Mariapfar, juga sebagai tempat asal kakeknya. Mohr pertama kali bertemu sang kakek dalam hidupnya, ketika sudah menjadi seorang frater.
Awal tahbisan imamatnya, sebagai pastor pembantu (kapelan), ia ditugaskan untuk memimpin misa malam Natal di luar kota. Yaitu, di sebuah gereja terpencil di wilayah paroki Mariapfar. Selama perjalanan dengan kuda kesayangannya ke Mariapfar, Pater Mohr diguyur hujan lebat. Sehingga pastor Mohr tidak sempat merayakan natal di gereja yang akan ia layani itu, karena sungai yang menghubungkannya dengan gereja itu diterjang banjir bandang dan tidak dapat dilewati. Kedatangannya, tentu, telah ditunggui ratusan umat setianya dengan harap cemas. Akan tetapi, dengan penuh kekecewaan, pastor Mohr terpaksa tidur di bawah kolong langit seorang diri. Diselimuti kegelapan, rintik hujan, dan dinginnya malam yang tenang dan hening, ia ditemani suara-suara jangkrik. Serasa seperti musik Tuhan, yang dimainkan satu tangan yang tak pernah kelihatan. Di tengah gemerlapan cahaya bintang yang berhamburan, pastor Mohr merayakan kelahiran Sang Bayi Yesus, hanya dalam kerinduan dari balik sungai. Saat itu, Mohr mengenang kembali kemalangan nasibnya di masa kecil. Kisah hidupnya, mirip “Sang Bayi Yesus” yang ditolak sesamanya. Bersama ibunya, ia sudah berkali-kali diusir. Dihina dan dibenci seperti bunda Maria dan Yesus. Seolah tak ada rumah untuk sekedar menginap semalam saja. Kesedihan mengenang nasib gunda gulana bersama ibundanya, seolah terus terngiang dalam jiwanya. Senandung jiwa yang terus bernyanyi untuk mengenang kembali nasibnya itulah, awal terciptanya nada-nada lagu Heilige Nacht. Holy night atau Malam Kudus, atau “Wie Nggeluk Bail…”
Kisah haru Si Bayi Yesus, yang dilahirkan di kandang hewan dan ditolak sesamanya, mungkin mirip dengan riwayat hidup Si Yoseph Mohr. Kisah pilu, yang memberi hikmah dan berkat talenta, ketika didera situasi tekanan hidupnya. Memang, menurut seorang penulis, Schilf, bahwa pastor muda Yoseph Mohr menciptakan lagu Malam Kudus, tidak hanya untuk menghormati kelahiran Yesus Sang Penebus dunia. Tetapi, lahir dari kisah hidupnya. Juga, untuk mengenang semua anak yang tak beruntung, mereka yang diekskomunikasi dari lingkungan pergaulan masyarakat. Mereka yang murtad dari iman katolik; mereka yang ditinggalkan karena perceraian orangtuanya; mereka yang lahir di luar nikah dan ditelantarkan tanpa ayah dan ibu. Juga untuk anak tiri, anak cacat, dan anak adopsi tanpa kasih sayang. Lebih-lebih untuk anak yang dibuang dan ditinggalkan.
Sayangnya lagu ini, lagi-lagi menurut Schilf, ditolak oleh pastor kepalanya untuk dinyanyikan di dalam gereja. Aturan gereja Katolik Roma saat itu, hanya memberi izin menyanyikan lagu-lagu rohani yang berbahasa Latin saja. Lagu “Stille Nacht”, atau “Heilige Nacht” baru bisa dinyanyikan dua tahun kemudian, ketika Pastor Mohr sudah pergi meninggalkan paroki tersebut. Saat ia telah pindah tugas dari Mariapfar ke paroki Obendorf.
Memang, lagu ini menjadi kenangan pahit yang mengingatkan nasib anak-anak Tuhan yang dibuang, terkucil dan ditinggalkan, seperti Yoseph Mohr. Kisah haru ini juga mengingatkan kita akan kemalangan nasib anak-anak Tuhan. Masih lebih beruntung nasib Si Betrand Petto, yang kemudian diadopsi oleh artis legendaris berhati emas, Onsu dan Sarwenda. Mungkin saja lagu “Malam Kudus” lebih cocok menjadi lagu kesayangan mereka. Mungkin juga banyak anak lain, bernasib sama seperti kanak-kanak Yoseph Mohr, yang pernah mengalami nasib sedih seperti bayi Yesus. Lebih-lebih, bagi anak-anak yang dibuang dan ditinggalkan oleh orangtua kandungnya sendiri.
Dalam konteks tertentu, kita pun adalah anak-anak Tuhan yang dibuang dan terkucil dari jalan Tuhan. Terkucil dari jalan kebenaran Yesus. Terkucil dari keheningan Ilahi Yesus. Terkucil dari kepolosan. Terkucil dari kemurnian, kekudusan dan kesucian bayi Yesus, serta hidup dalam kegelapan dosa. Lagu rindu akan keselamatan Tuhan. Untuk keselamatan kitalah, lagu ini dinyanyikan sepanjang zaman… (Malam Kudus, sunyi-senyap, bintangmu gemerlap…).
Apa yang kita renungkan dan kita hayati dari kisah penciptaan lagu “Malam Kudus? Mengapa manusia di zaman ini tak suka hening? Mengapa suasana keheningan natal, justru dikagetkan dengan ledakan mercun, petasan dan dentuman meriam bambu yang mendebarkan jantung? Tanpa menghiraukan nasib pasien jantungan, para jompo, lansia, orang stroock yang butuh perhatian. Atau, tanpa menghiraukan ibu-ibu hamil di sekitar kita. Mungkin sedang merintih sakit, menunggu waktu bersalin. Bukankah natal adalah perayaan kelahiran Sang Juru Selamat kehidupan? Keheningan Natal, tentu bukan saja menyambut kelahiran bayi Yesus semata, dalam konteks hidup rohani. Natal, juga hendak meng-agung-kan nilai-nilai kehidupan. Terutama, rasa solidaritas kemanusiaan. Baik terhadap bayi yang dibuang oleh orangtuanya, anak-anak yang ditinggal pergi oleh ayah atau ibunya, anak yatim-piatu, anak-anak tiri, anak cacat dan adopsi, maupun penghormatan terhadap semua mama yang jadi korban karena melahirkan buah hatinya. Mungkin juga terhadap anak haram dan orangtua yang ditolak, dibully, dihina, dibenci dan diusir dari tengah pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, di masa adventus, tradisi gereja katolik tidak membolehkan adanya kegaduhan, atau keributan oleh bunyi-bunyian music dan lagu-lagu natal sebelum waktunya. Apalagi, dentuman petasan, mercun, meriam bambu, atau bunyi knalpot motor racing. Pokoknya, semua kegaduhan yang merusak ketenangan. Sebab, di saat hening itu, hati kita disiapkan untuk lebih terbuka menghayati nilai pertobatan. Nilai kasih sayang, nilai kemanusiaan. Hanya di saat hening, batin kita bisa mendengar bisikan halus bimbingan Roh Kudus. Yang mendengar suara Roh dan merasakan bimbingan-Nya, sulit untuk berbalik. Ia menjadi sangat tekun dalam karya pelayanan Tuhan. Jiwanya dipenuhi niat-niat rohani. Jiwanya akan bangkit dan terjaga, selalu tergerak untuk melahirkan berbagai buah karya rohani dan kemanusiaan. Umat katolik, tentunya menghendaki situasi nyaman, diam, tenang dan hening atau silentium magnum (keheningan mistik yang agung) dalam menghadapi persiapan menyambut kedatangan Tuhan. Mungkin kita bisa belajar menghayati lagu “Malam Kudus” yang tercipta dari keheningan jiwa seorang anak haram. Teruslah menyanyi “Malam Kudus, Sunyi Senyap, Bintang-Mu Gemerlap, Jurus Selamat Manusia Telah Turun Ke Dunia......”, dst.

Dikutip dan direfleksikan secara bebas dari berbagai sumber